Aktivis SBMI dan Greenpeace Indonesia menggelar aksi dengan mengusung replika keranda mayat dan membawa replika batu nisan yang bertuliskan nama-nama ABK Indonesia yang meninggal di atas kapal berbendera asing.
“Peraturan Pemerintah akan mengatur berbagai hal teknis tentang perekrutan anak buah kapal (ABK) migran, sehingga mempersempit celah praktik pelanggaran hak tenaga kerja serta hak asasi manusia para ABK perikanan,” kata Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno sebagaimana tertulis dalam rilis yang diterima redaksi LiputanBMI, Kamis (27/8).
Dalam rilis tersebut juga disebutkan, merujuk pada Kertas Laporan Investigasi SBMI-Greenpeace, sepanjang 2015-2020, SBMI menerima pengaduan dari 338 orang ABK yang bekerja di kapal ikan berbendera asing.
Berdasarkan sebelas (11) indikator kerja paksa Organisasi Perburuhan Internasional/ILO C29, [2] kasus yang dialami ratusan ABK di antaranya penahanan upah, kondisi kerja yang buruk, jam kerja berlebihan, penipuan, kekerasan fisik dan kekerasan seksual.
Dari 338 orang, sebanyak sebelas (11) ABK menjadi korban kerja paksa bahkan meninggal dunia di atas kapal. Mirisnya, beberapa jasad ABK yang meninggal di atas kapal, dilarung ke laut lepas tanpa seizin keluarga.
“Memperhatikan berbagai kasus kematian ABK asal Indonesia yang terjadi belakangan ini, terdapat urgensi adanya payung kebijakan untuk membenahi tata kelola perekrutan dan pelindungan ABK migran,” tambah Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah.
Selain mengeluarkan Peraturan Pemerintah, SBMI dan Greenpeace juga menuntut Pemerintah RI untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan selambat lambatnya pada Desember 2020.
Selain pelindungan melalui peraturan, pemerintah juga harus segera menyelesaikan kasus-kasus ABK yang diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), serta mendata para ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera asing. SBMI dan Greenpeace menilai, pendataan sangat penting sebagai bagian dari pengawasan terhadap para ABK.
“Para ABK kebanyakan bekerja di kapal ikan berbendera asing dengan frekuensi sandar ke pelabuhan yang sangat jarang, karena kapal banyak melakukan alih muatan di tengah laut. Ini menjadi celah bagi terjadinya kerja paksa atau perbudakan modern,” tegas Afdillah.
.